Menimbang Kembali ‘Embedded Liberalism’ untuk Reformasi WTO: Plurilateralisme dalam Multilateralisme Perdagangan Internasional

Yogyakarta, 23 Februari 2023. Komitmen terhadap perdagangan bebas tanpa hambatan perlu dikelola oleh suatu rezim internasional yang mengutamakan aturan main dan kepastian hukum bagi seluruh pihak dengan tetap membuka ruang fleksibilitas bagi negara dalam memitigasi tantangan ekonomi politik global terkini.

Untuk memastikan adanya rezim perdagangan internasional yang kuat tersebut, satu hal penting yang harus dilakukan adalah mereformasi organisasi perdagangan internasional World Trade Organisation (WTO) melalui tiga aspek penting. Pertama, mendorong penerapan kembali embedded liberalism yang memungkinkan peran negara dalam tatanan perdagangan bebas. Kedua, pengelolaan perundingan di dalam WTO dengan mekanisme plurilateral dimana perundingan tetap melibatkan banyak negara namun dengan jumlah yang lebih terbatas dan memungkinkan setiap anggota memilih dan memilah kesepakatan baru secara suka rela yang sesuai dengan kepentingan dan tingkat kemajuan ekonomi masing-masing. Ketiga, kesepakatan di antara negara-negara anggota untuk membahas agenda-agenda yang mendesak yang terjadi akibat tantangan perubahan iklim dan transformasi digital.

Pemikiran tersebut disampaikan Prof. Dr. Poppy Sulistyaning Winanti dalam pidato saat Pengukuhan Guru Besar yang diselenggarakan di Balai Senat Gedung Pusat, Universitas Gadjah Mada pada Kamis 23 Februari 2023. Pidato yang disampaikan bertajuk Menimbang Kembali ‘embedded liberalism’ untuk Reformasi WTO: Plurilateralisme dalam Multilateralisme Perdagangan Internasional.

“Dalam situasi dunia kontemporer saat ini, sebuah rezim perdagangan yang kuat sangat diperlukan, bukan yang lemah seperti sekarang. WTO saat ini sedang mengalami stagnasi dalam mengelola perdagangan internasional yang berprinsip multilateral. Artinya, saat ini terjadi benturan antara upaya negara-negara anggota untuk mencapai tujuan nasional masing-masing dengan komitmen internasional untuk mematuhi prinsip-prinsip perdagangan bebas,” kata Poppy.

Menurut Poppy, stagnasi tersebut diakibatkan dua hal. Pertama, WTO sendiri mengalami kendala secara organisasi, yaitu adanya kekosongan Appelate Body dan gagalnya serangkaian upaya mencapai perjanjian penting sejak 2001 ketika Doha Development Agenda (DDA) diluncurkan. Appelate Body adalah salah satu organ dalam WTO yang bertanggung jawab menangani kasus-kasus sengketa perdagangan. Kendala di dalam WTO tersebut terjadi ketika konstelasi politik dunia tengah mengalami dinamika besar dengan kemunculan negara-negara kekuatan ekonomi baru. Kedua, aturan-aturan perdagangan lintas negara yang didesain dengan cara lama gagal merespons situasi global berubah dengan cepat. Misalnya, perdagangan internasional saat ini tidak hanya berupa barang dan jasa namun juga perdagangan digital (e-commerce). Selain itu, dampak dari perubahan iklim yang semakin nyata terutama bagi ketahanan energi dan ketahanan pangan, perlu respons cepat dari negara yang bisa berimplikasi tidak hanya mendistorsi perdagangan namun juga membatasi akses pasar.

“Oleh karenanya, reformasi WTO perlu dilihat dalam narasi penerapan kembali embedded liberalism yang tidak dimaknai untuk sekedar melanggengkan kapitalisme negara, tetapi suatu keharusan bagi setiap negara dalam merespons persoalan yang muncul. Yang perlu dipastikan juga adalah bagaimana agar mekanisme perundingan secara plurilateral tidak memunculkan distrust di antara negara anggota,” jelas Poppy.

“Untuk mendorong reformasi tersebut, perlu upaya dan langkah strategis yang dapat dimulai dari membangun koalisi tidak hanya di antara sesama negara berkembang selatan atau Global South namun juga di kalangan negara-negara yang memiliki pandangan melampaui pemisahan Global South dan Global North,” ujarnya.

Prof. Poppy adalah salah satu dari 37 Guru Besar baru di UGM selama 2022. Selain itu, dia merupakan Guru Besar wanita pertama dalam disiplin Ilmu Hubungan Internasional di UGM.

Silakan unduh untuk melanjutkan membaca:

[wpdm_direct_link id=’967′]

Editors Selection RIS Journal: Global Environment Issues

Previously overlooked in International Relations, environmental issues have now emerged as a central topic of debate among scholars in the field. This transformation highlights not only the evolution of IR itself—expanding to incorporate what were once considered low-politics issues—but also the growing concern among scholars about pressing global challenges, such as environmental degradation. The Review of International Studies (RIS) has published numerous articles addressing these matters, exploring a broad spectrum of topics related to environmental issues, the politics surrounding global environmental governance and climate change, a thorough analysis of the concept of degrowth in the context of the North-South divide, and the imperative to create a conceptual framework for post-growth International Relations, among others.

Read full article: https://www.cambridge.org/core/journals/review-of-international-studies/special-collections/editors-selection-by-poppy-winanti

Photo: Freepik.com

SITASI: Apa Itu Tarif?

Apa yang dimaksud dengan tarif dalam perdagangan internasional? Dalam episode ini, Poppy S. Winanti akan membahas definisi tarif serta pro dan kontra yang menyertainya. Poppy juga mengajak pemirsa untuk mendiskusikan kebijakan tarif resiprokal Trump, memetakan respons aktor-aktor lain, serta bagaimana pemerintah Indonesia sebaiknya merespons kebijakan tersebut.

Sumber: @HI-UGM

Why Indonesia needs to negotiate with Trump on tariffs – but brace for the worst

On 2 April 2025, United States President Donald Trump announced that his government would impose a universal 10% tariff. This policy will be followed by specific tariff arrangements for commodities from approximately 60 countries perceived to be engaging in unfair trading practices through non-tariff barriers, which, he says, have caused the US balance of trade to be in deficit.

The policy is part of Trump’s “Make America Great Again” initiative, which he used to rally domestic support to win a second term. His administration described the day the policy was announced as “Liberation Day”, to the chagrin of the global community.

Trump’s ‘Liberation Day” is clearly an attack on globalisation. To quote Elizabeth Braw, writing last year, Trump’s first term and Brexit were the most significant political pushbacks against globalisation since the World Trade Organisation protests in 1999. Her assessment remains relevant today under Trump 2.0.

Read full article: https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/why-indonesia-needs-to-negotiate-with-trump-on-tariffs-but-brace-for-the-worst/

Photo: Kompas.com/Dok. Kemlu

Navigating Geopolitical Tension: Indonesia’s Strategic Position Between the OECD and BRICS+

Indonesia is at a pivotal crossroads in the evolving geopolitical landscape, striving to balance its relationships with two major international coalitions: the OECD and the recently expanded BRICS+. As the largest economy in Southeast Asia and a G20 member, Indonesia serves as a crucial bridge between developed and developing nations.

The OECD acts as a club of predominantly developed countries that promotes policies enhancing economic and social well-being. Indonesia’s accession to the OECD will provide access to best practices in governance, economic development, and sustainable methods, which are essential for its national development goals.

Meanwhile, the BRICS+ coalition, comprised of emerging economies, offers Indonesia a platform to voice the concerns and aspirations of developing countries. As Indonesia navigates this complex geopolitical terrain, it must carefully balance its commitments and aspirations.

Indonesia’s recent decision to join BRICS+ is primarily motivated by political reasons instead of economic gains. However, the challenge lies in aligning its domestic policies with the interests of both coalitions while also addressing broader issues such as climate change, economic inequality, and geopolitical instability.

Original source: https://www.aciti.org.au/forum

Direct download (PDF): IPRC Brief 1: 2025

Bincang Buku Transformasi Digital dan Daya Saing: Seleksi Kasus

Revolusi digital sudah dimulai semenjak pertengahan abad ke-20. Transformasi digital mengalami akselerasi yang semakin cepat dengan penggunaan internet dan AI. Namun, apakah transformasi digital akan meninggalkan mereka yang belum siap akan perubahan layaknya revolusi industri lainnya? dan bagaimana Departemen ilmu hubungan Internasional UGM merespons hal ini?

Sumber: @HI-UGM

30 Menit Bersama Guru Besar Baru HI UGM

Kamis, 23 Februari 2023 lalu, Prof. Dr. Poppy Sulistyaning Winanti resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Ilmu Hubungan Internasional perempuan pertama di UGM. Prof. Poppy menyoroti kondisi World Trade Organization(WTO) yang dinilai sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Bagaimana kondisi yang dimaksud dan seperti apa sosok guru besar Ilmu Hubungan Internasional terbaru di HI UGM?

ASEAN Geopolitical Environment and Regional Economy | Poppy Sulistyaning Winanti

Lecture Series Title: ASEAN Geopolitical Environment and Regional Economy: An Introduction Speaker: Dr. Poppy Sulistyaning Winanti (Faculty of Social and Political Sciences UGM) Deliver in the 6th International Week (IWEEK 2019), a summer course program held by Faculty of Economics and Business UGM.

Sumber: @fakultasekonomikadanbisnisugm

Bincang Buku G20 di Tengah Perubahan Besar

Bertepatan dengan presidensi Indonesia di G20, UGM Press bersama FISIPOL UGM menerbitkan Buku G20 di Tengah Perubahan Besar: Momentum Kepempimpinan Global Indonesia? Buku ini berusaha menjawab pertanyaan besar mengenai peran G20 sebagai “the new global governance” serta makna presidensi Indonesia di G20 untuk kepentingan nasional. Bagaimana Indonesia seharusnya mengadvokasi agenda-agenda global? Siapa saja yang harus membaca buku ini? Selengkapnya bersama editor buku, Dr. Poppy S. Winanti dan Dr. Wawan Mas’udi, dipandu oleh Yulida N. Santoso, M.Sc.!

Sumber: @HI-UGM

Diplomasi Energi 01: Ekonomi Politik Transisi Energi Gas Menuju Energi Baru dan Terbarukan

Diplomasi energi tidak hanya berfokus pada upaya diplomatik untuk memastikan ketahanan energi suatu negara, tetapi juga harus dilihat sebagai upaya memproyeksikan gagasan perubahan dalam mengarusutamakan penggunaan energi baru dan terbarukan. Dalam edisi perdana ini, Dr. Poppy S. Winanti mengulas strategi apa yang bisa dilakukan untuk mendorong transisi energi. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan pemanfaatan sumber energi gas yang relatif lebih bersih dan ramah lingkungan dibandingkan sumber fosil lainnya. Pilar transisi diperlukan untuk memastikan ketersediaan pasokan energi sebelum sumber-sumber energi baru dan terbarukan dapat diproduksi dan didistribusikan secara baik. Simak selengkapnya di Kanal Riset Hubungan Internasional!

Sumber: @HI-UGM

Knowledge@america: Economic Impact in the Time of Covid

Sumber: @atamericaa